![Ilustrasi Bandung Lautan Api. [ChatGPT]](https://lampau.id/wp-content/uploads/2025/11/bandung-lautan-api.jpg)
Jadoelers pasti pernah denger lagu legendaris “Halo-halo Bandung, ibukota periangan…” kan?
Nah, lagu itu bukan cuma catchy, tapi lahir dari salah satu momen paling panas dalam sejarah Indonesia yaitu Peristiwa Bandung Lautan Api.
Walau begitu ada sepercik kontroversi dalam Bandung Lautan Api. Terutama adalah mengenai lakon sang aktor utama, Jenderal Abdul Haris Nasution.
Adalah seorang bernama Widarbo yang mengaku mantan pejuang, menulis surat, menggugat epos kepahlawanan AH Nasution di peristiwa Bandung Lautan Api.
Surat Widarbo diberi judul “Menyingkap Tabir Sejarah Bandung Lautan Api”. Surat yang ia kirimkan ke Presiden Suharto dan Nasution sendiri itu dimuat di Harian Merdeka edisi 29 April 1995.
Inti dari surat itu, Widarbo hanya ingin mengatakan bahwa Nasution bukanlah pahlawan yang pantas dielu-elukan dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Melawan Perintah Sudirman
Ketika sekutu mengultimatum agar Bandung dikosongkan, terdapat dualisme sikap elit. Perdana Menteri Sutan Sjahrir meminta Tentara Republik Indonesia (TRI) mematuhi ultimatum sekutu.
Sementara Jenderal Sudirman menyerukan agar TRI Jawa Barat menolak ultimatum tersebut.
“Tiap sejengkal tumpah darah harus dipertahankan,” begitu isi perintah Sudirman.
Komandan Komandemen TRI Jawa Barat Didi Kartasasmita mengikuti perintah Panglima Besarnya.
Saat bertemu Letkol Van Der Post, ajudan Jenderal Hawthorn, komandan pasukan sekutu, Didi dengan tegas menolak permintaan untuk pergi dari Bandung.
“Tidak bisa! Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari Kota Bandung,” tegas Didi.
Sementara Nasution, sebagai Panglima Divisi III TRI, yang merupakan bawahan Didi, justru sebaliknya.
Nasution mengaku berada di posisi dilematis antara mengikuti perintah Sjahrir atau atasanya di TRI, Jenderal Sudirman.
Nasution lalu mengumpulkan semua kekuatan mengadakan musyawarah Majelis Persatuan Perjuangan Priangan (MP3).
Dalam pertemuan itu, Nasution membuat keputusan yang bertentangan dengan perintah Jenderal Sudirman.
Ia memerintahkan rakyat Bandung harus keluar dari kota. TRI disuruh melakukan aksi bumi hangus. Lalu setelah matahari terbenam, Bandung Utara harus diserang dari utara dan sedapat mungkin melakukan bumi hangus.
“Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api,” ujar Rukana, Komandan Polisi Militer Bandung, yang hadir di pertemuan itu.
Komandan Resimen 8 TRI yang membawahi Bandung dan sekitarnya, Letkol Omon Abdurachman menolak keputusan Nasution yang memerintahkan pengosongan kota Bandung.
Omon tak habis pikir mengapa Nasution mau menyerahkan begitu saja Bandung kepada Inggris.
Tindakan Nasution yang memerintahkan bumi hangus kota Bandung dipertanyakan divisi TRI Yogyakarta.
Nasution dianggap tidak mau mempertahankan Bandung sampai titik darah penghabisan. Atasan langsung Nasution, Didi Kartasasmita bahkan mendesak agar Nasution diadili.
Namun Nasution membela diri.
“Panglima Komandemen dan MBT harus tahu.. Saya tak mungkin mengorbankan 4 batalyon saya dengan persenjataan tak lebih dari 100 pucuk senapan untuk menangkis sebuah divisi Inggris yang berjumlah 12 ribu prajurit itu,” ujar Nasution.
Bagi Nasution, mengosongkan kota Bandung sambil melakukan aksi bumi hangus adalah jalan tengah dari dualisme sikap pemerintah dan tentara.
Sementara Widarbo menganggap Nasution tak seharusnya merasa dilematis atas perbedaan sikap pemerintah dan Markas Besar Tentara (MBT).
Menurut Widarbo, sebagai seorang tentara, Nasution semestinya tunduk pada perintah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Jika ada sikap berbeda dari pemerintah, seharusnya Nasution menyampaikan ke Panglima Besar.
Jenderal Sudirman sendiri tidak bereaksi terhadap keputusan Nasution dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Namun taktik bumihangus ini diadopsi Jenderal Sudirman ketika terjadi Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta.
Jenderal Sudirman mengeluarkan perintah siasat I tanggal 9 November 1948. Salah satu isinya adalah melaksanakan politik bumi hangus.
Menurut Barlan Setiadijaya, pejuang 10 November 1945, perintah siasat itu bukti bahwa konsepsi Nasution dalam Bandung Lautan Api diterima Jenderal Sudirman.
Bahkan Kepala Staf Markas Besar Tentara, Letjen Urip Sumoharjo menyatakan keputusan yang diambil Nasution dalam peristiwa di Bandung adalah keputusan terbaik.
Siapa Pahlawan?
24 Maret 1946, sekitar pukul 20.00, terjadi lah aksi bumi hangus di Kota Bandung.
Sebagai akibat ketergesa-gesaan, kurangnya koordinasi, serta keterbatasan kemampuan, aksi pembumihangusan dapat dikatakan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aksi pembumihangusan yang semula baru akan dilaksanakan pada pukul 24.00 ternyata sudah berjalan sejak pukul 20.00.
Ledakan di Gedung Indische Restaurant yang terbilang lebih cepat dari rencana, sontak menimbulkan kepanikan diantara para pejuang lainnya, khususnya di tengah Kota yang masih mempersiapkan peledakan.
Akibatnya, cukup banyak bangunan vital yang gagal diledakan.
Namun demikian, aksi pembumihangusan terus berlangsung, khususnya terhadap rumah-rumah tinggal, jadilah pada malam hari itu, Bandung bagaikan lautan api.
Taktik bumi hangus ini menurut Widarbo, pejuang TRIP, tidak merugikan musuh malah merugikan rakyat.
“Gerakan mundur dari Bandung untuk sekadar memenuhi ultimatum Inggris bukanlah kebijaksanaan yang mencerminkan kepahlawanan, seperti yang dikesankan oleh pengambil keputusan Bandung Lautan Api,” kata Widarbo.
Versi Widarbo, keputusan pengosongan Bandung Selatan itu mendapat tentangan dari Laskar Rakyat. Mereka tak rela Bandung dikuasai Belanda dan bertekad merebut kembali Kota Bandung.
Salah satunya adalah seorang pemuda 19 tahun bernama Mohamad Toha. Toha adalah anggota Barisan Banteng Republik Indonesia, salah satu milisi terkuat di Indonesia pasca proklamasi.
Sempat ditolak atasannya, usul Toha menghancurkan gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot, akhirnya diterima.
Bersama pasukannya dari tiga laskar yaitu Barisan Banteng, Hizbullah (sayap semi militer Masyumi), dan BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia), Toha melaksanakan misinya.
Pasukan Toha menyebrang dengan menyeIamkan diri ke Sungai Citarum agar kedatangan mereka tidak diketahui oIeh BeIanda.
Mereka berjaIan dengan seIamat dan berhasiI memasuki wiIayah gudang mesiu. Walau akhirnya ketahuan hingga terjadi kontak tembak.
Toha yang terluka tetap bertahan di dalam gedung guna menuntaskan misinya. Di tengah kontak tembak, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang menggelegar.
Toha dan rekannya Ramdan, berhasil menunaikan misinya meledakkan gudang mesiu Belanda. walau harus mengorbankan jiwa mereka.
Terdapat 1.100 ton mesiu yang meledak, mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka-luka.
Dua kampung habis terbakar di samping bangunan-bangunan penting milik Belanda.
Ketika ledakan itu terjadi, Nasution dan pasukannya berada di markas di daerah Banjaran sebelah selatan.
Saat itu Nasution dan pasukannya sedang berbicara tentang siasat karena harus tiap malam menyerbu ke Bandung.
“Terdengar ledakan…. Itu ternyata gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot. Dari mana terjadi kita juga tidak tahu. Malumlah waktu itu yang berkuasa Belanda bukan kita,” kata Nasution.
Berkaca pada peristiwa ini, Widarbo mengatakan, watak kepahlawanan Bandung Lautan Api bukan terletak pada keputusan Nasution mengosongkan Kota Bandung lalu menyerahkannya kepada Inggris tanpa perlawanan.
Melainkan pada sikap rakyat yang bertekad merebutnya kembali. Anggapan Widarbo ini dibantah eksponen 66 yang juga sekretaris pribadi AH Nasution, Bakri Tianlean.
Menurut Bakri, upaya merebut kembali Kota Bandung tidak terlepas dari siasat Divisi III Siliwangi, pimpinan Nasution.
Ia mengatakan, Jenderal Sudirman datang ke Purwakarta membawa surat pribadi Presiden Sukarno. Jenderal Sudirman mengatakan bahwa Presiden telah memutuskan telah tiba saatnya untuk menyerang.
Itulah yang menjadi dasar TRI dan laskar rakyat berjuang bersama untuk merebut kembali Kota Bandung.
