Mencari Alamat dan Hari Lahir Kota Liwa (3)

Ilustrasi Liwa. [ChatGPT]
Ilustrasi Liwa. [ChatGPT]
Oleh: Udo Z Karzi

BEGINI… Saya jurnalis Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Unila yang lagi pulang kampung pada Agustus 1991 ketika sedang hangat-hangatnya orang ngobrolin pemekaran Kabupaten Lampung Barat.

Mungkin juga baru magang dan baru mendapat pembekalan dasar-dasar jurnalistik dari senior-senior di koran kampus ini.

Semangat sebagai wartawan belajaran masih berkobar-kobar, meskipun kalau nulis masih perlu diobrak-abrik sama redaktur.

Beberapa hari di kampung saya manfaatkan untuk menulis beberapa reportase atau feature atau apalah pokoknya tulisan panjang. Setidaknya, ada tiga tulisan.

Tulisan pertama saya angkat sebuah tradisi memperingati Lebaran dari ingatan waktu kecil di kampung halaman berjudul “Sekuraan, Pesta Rakyat dari Lambar” dimuat di Teknokra Edisi Khusus KKN 1991.

Ketika kembali ke kampus dan ke redaksi, Pemimpin Redaksi/Usaha/Ketua UKM Teknokra Budisantoso Budiman memanggil saya.

“Ini tulisan, kirim ke Lampung Post saja. Sayang kalau cuma dimuat di Teknokra,” ujarnya.

Tulisan kedua berjudul “Liwa, Sang Ibukota Lambar: Kota Harapan yang Menyimpan Kenangan” dimuat di Lampung Post, 29 Agustus 1991, kurang sebulan sebelum peresmian Kabupaten Lampung Barat pada 24 September 1991.

Tentang tulisan ketiga, lupa judulnya, Mas Budi bilang, “Kalau yang ini saya simpan saja ya. Tulisan ini mengandung SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Gak boleh menulis begini.”

“Oo…,” mulut saya (mungkin) monyong.

Itu pelajaran etika jurnalistik juga!

Kembali ke tulisan kedua tadi, selain bahan yang sudah ada mengenai potensi budaya dan asal-usul nama Liwa, saya memerlukan datang ke Kantor Pembantu Bupati Lampung Utara Wilayah Liwa.

Dengan penuh keraguan dan takut-takut, saya masuki kantor, lalu masuk ke dalam dan bertemulah saya Peta Rencana Pengembangan Kota Liwa, calon ibu kota Lampung Barat.

Ada pegawai kantor yang keluar, saya lalu mengutarakan maksud untuk mewawancarai Pembantu Bupati. Tapi, saya mendapat jawaban, Pembantu Bupati sedang di Jakarta untuk persiapan peresmian Kabupaten Lampung Barat.

Alhamdulillah, saya bisa bertemu dan mewawancarai Kabag Tata Usaha Kantor Pembantu Bupati Wilayah Liwa Drs. Syaifullah Zawawi di ruang kerjanya di Liwa, Sabtu, 3 Agustus 1991.

Dari kliping tulisan ini, disebutkan antara lain, Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Lampung Barat disahkan DPR RI tanggal 20 Juni 1991.

Seiring dengan itu, berbagai hal, telah, sedang, dan akan terus dilakukan demi perkembangan dan kemajuan “kabupaten baru”.

Liwa terlebih-lebih lagi, ia saat ini tengah sibuk-sibuknya bersolek dan berhias diri mempersiapkan kemandiriannya sebagai ibu kota Lampung Barat.

Berdasarkan Peta Pemanfaatan Lahan Sampai dengan Tahun 2000 (Struktur Kota yang Diinginkan), wilayah pengembangan Kota Liwa meliputi 8 desa di Kecamatan Balik Bukit, yaitu Way Mengaku, Pasar Liwa, Kubuperahu, Sebarus, Gunung Sugih, Way Empulau Ulu, Watas, dan Padangdalom.

Liwa selanjutnya akan dikembangkan menjadi tiga wilayah pengembangan (DWK). DWK I Wilayah Pusat Pemerintahan dan Fasilitas Umum seluas 1.205,62 ha untuk kantor pemerintah, militer, pendidikan tinggi, sekolah tingkat menengah, olahraga, dan rekreasi.

DWK II Wilayah Pusat Kota dan Perdagangan seluas 859,88 ha untuk perdagangan dan jasa, kantor pos dan telekomunikasi, bank, pemadam kebakaran, terminal angkutan dalam kota, serta perdagangan eceran dan menengah.

Dan DWK III Wilayah Pengembangan Industri dan Perdagangan seluas 1.220,40 ha untuk terminal regional, pergudangan dan cargo, agroindustri, perdagangan grosier, serta pendidikan dasar dan menengah.

Untuk perbandingan, berdasarkan penelitian Eva Oktarina Fauzi (1994) untuk skripsinya ada sembilan pekon/kelurahan yang menjadi wilayah Kota Liwa.

Sebagaimana tercantum dalam Monografi Lampung Barat secara administratif ibu kota Kabupaten Lampung Barat adalah Kota Liwa yang dibentuk oleh sembilan pekon yaitu, Pasar Liwa, Sebarus, Way Empulau Ulu, Way Mengaku, Kubuperahu, Gunung Sugih, Wates, Padang Dalom, dan Sukarami.

Sebenarnya agak membingungkan juga menyebut Liwa, tetapi tidak memasukkan Pekon Bahway, Padang Cahya dan Sedampah Indah.

Ketiga pekon ini sejatinya bagian dari wilayah (Marga) Liwa atau wilayah Kecamatan Balik Bukit sekarang setelah (Marga) Sukau dimekarkan menjadi kecamatan tersendiri.

Satu lagi, namanya Kota Liwa, tetapi isinya pekon-pekon (Kubu Perahu, Sebarus, Gunung Sugih, Wates, Padang Dalom, Sukarame, dan Way Empulau Ulu). Hanya ada dua yang kelurahan (Pasar Liwa dan Way Mengaku).

Konsekuensi logis dari pengembangan Liwa adalah pembangunan dengan pendekatan pembangunan pemekonan (perdesaan). Bukan pembangunan wilayah perkotaan (urban).

Jadi, ada yang salah dalam memperlakukan Kota Liwa. Bagaimana bisa disebut kota kalau sebagian besar wilayahnya dianggap desa-desa.

Kritik keras datang dari Budi Elpiji, seorang putra daerah Liwa.

“Tantangan juga untuk Pemkab Lambar. Kenapa untuk mempercantik pusat kota kayaknya susah sekali ya? Sudah puluhan tahun tugu, dan bahkan ruko-ruko di sekitarnya saja sudah memprihatinkan seperti tidak ada sentuhan pembangunan. Memang ini ada hubungannya dengan investor. Tapi, mana kontribusi orang-orang hebat dari Lambar yang ada di pusat,” tulisnya di FB, 21 September 2025.

*) Udo Z Karzi, penulis-jurnalis, tinggal di Bandar Lampung

About the author: redaksi

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *