Mencari Alamat dan Hari Lahir Kota Liwa (6)

Ilustrasi Liwa. [ChatGPT]
Ilustrasi Liwa. [ChatGPT]
Oleh: Udo Z Karzi

Di pendahuluan buku //Kroe Tempo Doeloe dalam Catatan O.L. Helfrich// (2021), Fadlun Abid dan Elly Dharmawanti menulis:

Tahun 1928 struktur kekuasaan lokal marga dimasukkan ke dalam struktur pemerintahan, berkedudukan di bawah onderafdelling melalui Inlandsche Gemeent Ordonantie Buitengeestan.
Hingga pada masa pemerintahan Jepang menguasai Bengkulu dan Lampung tahun 1942, daerah Onderafdelling Krui dikembalikan ke dalam Regenschap Lampung. Sebab, secara etnik, adat-istiadat, dan bahasa penduduk Orderafdelling Krui termasuk dalam rumpun etnik Lampung. Sejak saat itulah eksistensi Krui sebagai pusat politik dan pemerintahan di pesisir barat Lampung berada di bawah administrasi pemerintahan penguasa Jepang di Liwa, Lampung.
***

Monografi Propinsi Sumatera Selatan yang diterbitkan Kementerian Penerangan RI, Jakarta, 1954 dengan Dewan Redaksi yang diketua M.L. Tobing bersama anggota-anggota K.M. Zen Mukti, Sumardi Tjokrowilogo, A. Kowi, Asnawi Sa’id, Jusuf Ismail, A. Baidjuri, Zaini Abubakar, Umar Hamid, Hadi Usmany, Marzuki, Anwar Effendi, R. Sugito dengan bantuan tenaga2 administrasi lainnya, sebelum terjadi penggabungan marga-marga pada 1952 menyebutkan begini:

“Tiap2 satuan Marga atau Haminte rata2 terdiri dari sedikitnya 5 dusun dan ada jang sampai 15 dusun. Satu dua Marga ada djuga jang terdiri lebih dari itu. Susunan kemargaan ini boleh dikatakan suatu susunan jang paling asli, dan tumbuhnja sedjak lama sebelum daerah ini diperintah oleh bangsa Belanda.”

Berdasarkan penetapan Residen Lampung tanggal 3 September 1952 No. 153/D/1952 yang mengatur tentang pemerintahan negeri, marga-marga di Kewedanaan Krui digabung menjadi tiga negeri.

Pertama, penggabungan bekas marga-marga: (1) Pasarkrui, (2) Tenumbang, (3) Pedada, (4) Ngambur, (5) Ngaras, (6) Bengkunat, dan (7) Belimbing menjadi Negeri Pesisir Selatan dengan pusat pemerintahan di Krui.

Kedua, penggabungan marga-marga: (1) Ulukrui, (2) Bandar (3) Laay, (4) Waysindi, (5) Pulaupisang, (6) Pugungtampak, (7) Pugungpenengahan, dan (Pugung Melaja menjadi Negeri Pesisir Selatan dengan pusat pemerintahan di Pugung Tampak.

Ketiga, penggabungan bekas marga-marga: (1) Liwa, (2) Sukau, (3) Kembahang, (4) Kenali, (5) Batuberak, dan (6) Way Tenong menjadi Negeri Balik Bukit dengan pusat pemerintahan di Liwa.

Dari sinilah, nama Liwa mulai ambigu. Kalau mengikuti mengikuti eks nama marga meliputi 11 atau 12 pekon (desa/kampung). Namun, sebagai ibu kota pemerintah negeri, Liwa yang dimaksud adalah sebuah desa atau kota kecil eks ibu kota Marga Liwa, yaitu Desa Negarabatin, yang kemudian berganti nama dengan desa Pasar Liwa pada tahun 1984(?).

Perkembangan selanjutnya, Sistem Pemerintahan Negeri berubah menjadi Sistem Pemerintahan Kecamatan setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dan kemudian lebih tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Kecamatan Belalau dibentuk dan dimekarkan dari Kecamatan Balik Bukit pada 12 Januari 1972 dengan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor G/0238/D.1/HK/1971 tanggal 10 Oktober 1971 dengan ibu kota kecamatan di Kenali.

Kecamatan Balik Bukit tetap beribu kota di Liwa, yang (tetap) rancu dengan Desa Negarabatin alias Pasar Liwa. Kondisi ini, berlangsung terus sampai hingga kini.

Dalam Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat jelas disebutkan: “lbukota Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat berkedudukan di Liwa” (Pasal 6), yang salah ketik pula dengan “Lima”.

Selalu jadi pertanyaan yang tak terjawab hingga kini: Liwa itu nama desa/kelurahan; nama wilayah yang meliputi beberapa desa/kelurahan; atau nama kota (kecil) yang menjadi ibu kota Kabupaten.

Jadi, sulit untuk mengelak dari tudingan bahwa “tidak ada nama tempat di Lampung Barat yang bernama Liwa”. La, iya nama Liwa itu dipakai di mana?

Orang semacam saya saja yang mengaku-ngaku berasal dari Liwa sementara pada umumnya orang tahu itu wilayah Kecamatan Balik Bukit.

Nah… bingung kan.

*) Udo Z Karzi seorang jurnalis-penulis tinggal di Bandar Lampung

About the author: redaksi

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *