Sejarah Singkat Klinik Santa Maria Metro

Ilustrasi Klinik Santa Maria Metro. [ChatGPT]
Ilustrasi Klinik Santa Maria Metro. [ChatGPT]
Oleh: Oki Hajiansyah Wahab

Pada tahun 1905 terjadi perpindahan penduduk dari Pulau Jawa ke Lampung, Sumatera Selatan. Keadaan di daerah yang subur ini masih banyak rawa dan air tergenang.

Penyakit malaria, TBC, desentri, dan borok merajalela. Meski para penduduknya telah bekerja keras membuka hutan namun kebutuhan sehari-hari saat itu belum tercukupi.

Sebagaimana dikisahkan dalam website fsgm (http://fsgm-indonesia.org/2017/06/26/80-tahun-parokimetro-lampung/Dalam sejarah misi Katolik di Lampung) Pastor Strater SJ dan Pastor Van Oort SCJ menjadikan Pringsewu sebagai pusat misi pertama.

Saat itu Uskup Palembang Mgr Dr Meckelholt SCJ mengirim empat suster misionaris ke Indonesia: Sr. M. Odulpha Schwalenberg, Sr. M. Solanis Meyer, Sr. M. Arnolde Wouters, dan Sr. M. Engelmunda Van Orten.

Dari Denekamp, Nederland, selama tiga minggu para misionaris muda ini berlayar dengan kapal Indrapura melalui Pelabhuan Mersaille (Perancis) ke Batavia.

Setiba di Pelabuhan Sunda Kelapa, mereka disambut suster-suster Ursulin dan menginap di Susteran Jalan Pos 2 Jakarta. Esok harinya mereka melanjutkan perjalanan ke Lampung.

Di Pelabuhan Panjang, Sumatera, mereka disambut suster-suster Hati Kudus, P. Van Oort SCJ, P. A. Hermelink Gentiaras SCJ, dan P. Kuipers SCJ. Selanjutnya pada 4 Juni 1932 mereka tiba di Pringsewu.

Setelah tiba di Pringsewu Sr. M. Arnolde membuka klinik di kamar tamu. Hari demi hari orang yang berobat bertambah banyak. Umumnya penderita malaria.

Setelah menolong pasien di klinik, Sr. M. Arnolde bersepeda ke desa-desa. Ia membuka pengobatan di rumah-rumah kepala kampung. Para suster juga mempedulikan bidang pendidikan.

Seiring waktu para suster mulai terjangkit malaria. Tak lama kemudian kongregasi mengirim tiga suster, Sr. M. Cortilia Welendorf, Sr. M. Edelgardis Hannink, dan Sr. M. Adelia Grase.

Mereka didatangkan dari Jawa Tengah untuk bertugas mengajar, merawat, mengunjungi rumah-rumah penduduk saat itu.

Perlahan pelayanan terus meluas ke berbagai daerah tak hanya di Pringsewu. Sumber referensi lain mencatat pada tahun 1935 Rookmaker yang saat itu menjabat sebagai Residen Lampung menetapkan sebuah pemukiman baru untuk para transmigran dari pulau Jawa.

Daerah itu diberi nama Metropolis yang artinya Kota Tengah sebab letaknya berada di tengah-tengah Karesidenan Lampung.

Rookmaker juga menugaskan seorang dokter pemerintah bernama dr.Ehlnhardt yang diketahui sebagai seorang inspektur yang sedang meninjau pelaksanaan program kolonisasi untuk membantu para kolonis yang sakit (Kusworo (2020 : 118).

FSGM Indonesia dalam artikelnya 80 Tahun Paroki Metro Lampung menjelaskan bahwa kehadiran paroki di Metro diawali dengan para transmigran dari Jawa yang tinggal di Bedeng 15 dan 21.

Pada tahun 1936 terhitung telah ada 150 orang warga Jemaah Katholik di Metro dengan Pastor M. Gerardus Nielen SCJ sebagai gembalanya. Kebanyakan dari mereka sudah menganut katolik dari tanah Jawa.

Masuk dan berkembangnya agama Katolik di Paroki Metro juga tidak terlepas dari terbentuknya Prefektur Apostolik Sumatera tahun 1911-1923.

Prefektur Apostolik sendiri adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan.

Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang Prefek Apostolik, yang biasanya adalah seorang Pastor dan bukan Uskup.

Selanjutnya pada tahun 1932 pembukaan kolonisasi di Gedung Dalam daerah Sukadana yang kemudian pada tahun 1935 menjelma menjadi kolonisasi Metro.

Daerah-daerah lain yang dibuka untuk kolonisasi misalnya Trimulyo pada tahun 1935. Metro kota pada tahun 1936, perluasan Gedung Dalam pada tahun 1937/1938, Batanghari pada 1941, menyusul Punggur, Probolinggo pada tahun 1943.

Pastor Neilen yang ditugaskan di Metro saat itu mencari tanah untuk bangunan misi Katholik. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga sedang membuka Bedeng 15 untuk dijadikan pusat pemerintahan Lampung bagian tengah.

Meskipun pejabat kontrolir tetap berada di Sukadana tetapi di Bedeng 15 atau Kota Metro juga telah ditempatkan seorang wedana dan aspiran kontrolir.

Pemerintah saat itu pun juga memberi perhatian terhadap Gereja Katolik di Metro. Pemerintah saat itu memberikan tanah sebelah selatan Jalan AH. Nasution dengan hak guna bangunan selama 20 tahun.

Di gedung sederhana tersebut umat merayakan misa kudus pada Hari Minggu dan hari-hari besar kegamaan lainnya (Veronika, 2003 : 17).

Rumah Sakit Bersalin Santa Maria berdiri sejak 1938 yang pada awalnya adalah bangunan klinik kesehatan yakni Roomsch Katholieke Missie.

Santa Maria terletak di tengah-tengah Kota Metro, di sebelah Gereja Hati Kudus dan tepat di seberang
pojok kanan Taman Merdeka, adalah rumah sakit tertua yang didirikan dengan nama St. Elisabeth atas prakarsa suster-suster Fransiskan di bawah penanganan Pastor M. Neilen, SCJ, sekaligus sebagai imam gereja pertama yang tinggal di Kota Metro, setelah dibukanya stasi misi kedua di luar Tanjungkarang, pada tanggal 1 Februari 1937, Metro sendiri menjadi stasi misi kedua yang dibuka di luar Tanjungkarang. (Rahmatul Ummah : 2018).

Pada zaman Belanda belum ada rumah sakit yang lain, rumah sakit Santa Maria inilah yang menangani rakyat yang sakit, baik malaria atau jenis penyakit lainnya.

Meski berdinding geribik saat dibuka, rumah sakit inilah yang melayani berbagai penyakit para transmigran saat itu seperti malaria, TBC, disentri, dan borok merajalela.

Romo Neilen meminta bantuan tiga suster asal Belanda dari Pringsewu untuk melakukan pelayanan kesehatan. Maraknya penduduk yang membutuhkan pelayanan kesehatan membuat pada tahun 1939 kembali didatangkan tiga suster dari Jerman untuk membantu pelayanan kesehatan,(Gereja Katolik Metro : 2017)

Pada tanggal 20 Februari 1942 Jepang menguasai Lampung. Pada bulan April 1942 semua imam dan suster ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara, Rumah Sakit Katolik di Metro diambil alih oleh Jepang dan gereja digunakan sebagai barak-barak.

Kesulitan yang dihadapi P. Nielen adalah masa pendudukan Jepang. Imam dan para suster ditangkap dan dipenjarakan di Tanjungkarang, bahkan dipindahkan ke Muntok, Bangka dan ke Belalau, Sumatera Selatan.

Sebagaimana dipaparkan Rahmatul Ummah, KH. Arief Mahya dalam tulisannya, Mengenal Seluk Beluk Metro Tempoe Doeloe di HU. Lampung Post, 11 Juni 2014 menjelaskan bahwa sejak dibuka hingga tahun 1952 di Metro hanya ada 1 rumah sakit, yaitu rumah sakit bersalin kepunyaan Misi Katholik, bagian depannya dipakai Dinas Kesehatan Pemerintah sebagai balai pengobatan dengan dr. Soemarno pimpinannya, dibantu R. Sosrosowdarmo, Sarindo Hasibuan, dan lain-lain mantri kesehatannya.

Dalam perkembangannya sejak berdiri bangunan Rumah Sakit Umum (RSU) Ahmad Yani, pada tahun 1967 sejak itulah kemudian Santa Maria secara khusus melayani pasien bersalin untuk ibu dan anak.

Pada tahun 1958 para suster mengajukan permohonan izin untuk Rumah Sakit Bersalin yang izinnya kemudian terbit pada 14 September 1960.

Sejak berdirinya Rumah Sakit Umum (RSU) Ahmad Yani, yang dulunya bernama Balai Kesehatan milik pemerintah, sejak itulah kemudian Santa Maria mengkhususkan diri melayani pasien bersalin (ibu dan anak).

Selanjutnya pada tahun 2013 pemerintah menerapkan aturan bahwa seluruh rumah sakit bersalin harus berganti nama menjadi klinik.

Sejak 26 Juli 2013 Rumah Bersalin Santa Maria resmi berganti nama menjadi klinik Bersalin dan Rawat Inap Utama Santa Maria Metro.

Perjalanan panjang Santa Maria sebagai cikal bakal pelayanan kesehatan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda di Metro hari ini.

Terlebih sejak pendiriannya hingga saat ini Santa Maria selain terus menjaga pelestarian bangunan bersejarah juga telah mengedepankan nilai-nilai pelayanan kemanusiaan dibandingkan keuntungan dan melayani masyarakat tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan.

Hingga saat ini ribuan atau bahkan puluhan ribu anak telah dilahirkan di Rumah Sakit tertua di Kota Metro.

Sebagai rumah sakit tertua yang telah berperan besar di masa lalu, RB. Santa Maria yang menyimpan banyak sejarah dalam perjalanan Kota Metro.

Sejak awal berdiri Santa Maria telah menyadari bahwa masalah kesehatan dinilai sangat penting bagi kemajuan kota dan perkembangan sumber daya manusia yang ada saat itu. Selain usia yang telah melampaui lebih dari 50 tahun, kandungan nilai sejarah didalamnya juga hingga saat ini bangunannya tetap dipertahankan dan mewakili masa gaya bangunan era kolonial/indis.

Pengaruh arsitektur kolonial dalam bangunan Santa Maria, seperti dijelaskan oleh Sumalyo (1993) menggambarkan perkembangan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan lingkungan Hindia Belanda yang berbeda dengan Eropa dimana mereka melakukan adaptasi dan akulturasi dengan arsitektur lokal untuk menciptakan arsitektur yang lebih sesuai untuk mereka tinggali di Hindia Belanda.

Arsitektur Indis selanjutnya merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menyebutkan arsitektur kolonial Belanda hasil proses adaptasi dan akulturasi tersebut, (Yulianto : 1993)

Pemanfaatan

Setelah melalui tahapan panjang dan kerja bersama antara warga Kota Metro, bersama dengan pemerintah daerahnya sejak proses pendataan, pengkajian, penyusunan rekomendasi, kini Klinik Santa Maria ditetapkan statusnya menjadi Bangunan Cagar Budaya, berdasarkan Surat Keputusan Walikota Metro Nomor 408/KPTS/D-01/2021 tanggal 02 Juni 2021.

Klinik Santa Maria Metro. [Dokumen BPCB Serang 2012]
Klinik Santa Maria Metro. [Dokumen BPCB Serang 2012]
Lewat pengenalan bangunan bersejarah, belajar sejarah juga memberikan guna rekreatif. Ketika kita mengunjungi sebuah situs sejarah, maka seakan-akan kita sedang melakukan lawatan sejarah, menerobos waktu dan tempat menuju masa lampau untuk mengikuti peristiwa yang terjadi.

Arsitektur kolonial Belanda di Indonesia khususnya yang ada di Kota Metro sendiri merupakan bukti peristiwa masa lampau yang menghasilkan artefak dengan nilai sejarah tinggi karena arsitek dengan ilmunya telah mampu mengubah peradaban manusia khususnya di Metro.

Terlebih para suster yang bertugas di Santa Maria juga terus menyimpan berbagai peralatan kesehatan yang pernah digunakan di masa lalu sebagai bagian dari upaya pelestarian sejarah bagi generasi masa kini dan yang akan datang.

Keberadaan bangunan bersejarah ini tentunya tidak lepas dari perjalanan sejarah yang terjadi di daerah tersebut. Mengunjungi tempat bersejarah, tidak perlu harus dengan biaya yang besar dimana guru dapat memanfaatkan situs-situs sejarah yang berada di dalam kota.

Relevansi kehadiran Santa Maria dewasa ini juga merefleksikan salah satu visi Kota Metro saat ini yakni sebagai Kota Sehat.

Selain itu Cor Dijkgraaf, seorang pakar pengembangan kawasan bersejarah dari Leiden University, Belanda menjelaskan bahwa kawasan bersejarah di sebuah lokasi bisa menjadi modal utama pengembangan sektor pariwisata.

Peninggalan bersejarah membuat sebuah kota menjadi unik dan membedakan kota satu dengan kota lainnya. Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro sendiri tengah melakukan kajian guna menetapkan RS Santa Maria sebagai bangunan cagar budaya.

Melalui penetapan status cagar budaya diharapkan kesadaran masyarakat akan sejarah perkembangan Kota Metro sendiri akan semakin meningkat.

Melalui upaya pelestarian yang coba dilakukan pada dasarnya ditujukan demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya khususnya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu untuk dapat diambil pelajaran dan inspirasinya oleh generasi saat ini.

Catatan: Artikel ini merupakan bagian dari isi Buku “Menyebar Semangat Sejarah Lokal: Sehimpun Tulisan dari Lampung” yang dipublikasikan ulang di Lampau.id atas persetujuan penulisnya.

*) Oki Hajiansyah Wahab seorang penulis dan pegiat Cagar Budaya, tinggal di Metro

About the author: redaksi

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *